Kisah Syekh Malang Sumirang, Tetap Hidup saat Dibakar Hidup-hidup oleh Sunan Kudus di Alun-alun

Solichan Arief
Sunan Kudus. Foto/Wikipedia

Pada hari Senin, disaksikan rakyat Demak, hukuman mati itu dilaksanakan. Para wali dan pemuka agama Demak yang dipimpin Sunan Drajat hadir di sekitar alun-alun. Mereka berada di dalam Masjid Agung, duduk di kursi masing-masing. Sementara Sultan Trenggono duduk di atas kursi kencana, di atas panggung yang sengaja dibangun di antara beringin sepasang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati.

Lepas salat dhuhur, Syekh Malang Sumirang digelandang menuju alun-alun. Rakyat Demak menyambut dengan sorak-sorai. Sebelum diletakkan di antara tumpukan kayu bakar, Malang Sumirang ditempatkan di depan para ulama, di tempat paling rendah. Posisi itu merupakan simbol bahwa dulunya Malang Sumirang ini adalah seorang ulama namun karena kelakukannya sendiri maka kini ia berada di tempat yang paling rendah.

Dewan wali menunjuk Sunan Kudus sebagai eksekutor hukuman mati. Penunjukan itu untuk menegaskan: Untuk menegakkan sebuah kebenaran, tak ada toleransi lagi. Biar saudara sendiri, kalau memang salah harus tetap dihukum. "Paman, maafkan saya, dengan terpaksa saya harus melaksanakan titah. Ini adalah keputusan dari mufakat bersama, yakni musyawarah antara segenap wali dengan Kanjeng Sultan dengan didasarkan pada Al-Qur'an, Hadist, Ijmak dan Qiyas," ujar Sunan Kudus seperti disarikan dari Babad Jaka Tingkir.

Dengan tenang Syekh Malang Sumirang mempersilahkan keponakannya melaksanakan tugasnya. "Laksanakan tugasmu, Nak. Engkau tak usah ragu. Aku sudah siap menanggung perbuatanku, tak akan lari aku dari tanggung jawab. Bakarlah kayu-kayu ini. Hanya saja kalau diperkenankan, aku minta sesuatu padamu". Syekh Malang Sumirang meminta dua bundel kertas beserta tinta yang hendak ditulis sebagai sebuah wasiat.

Yang mengejutkan Sunan Kudus, Syekh Malang Sumirang yang berada di tumpukan kayu memulai menulis setelah api berkobar hebat. Paman Sunan Kudus itu duduk bersila di tengah kobaran api di mana dua ekor anjingnya ada di dekatnya. Ajaibnya, api tak menyentuh kulitnya. Begitu juga dua ekor anjingnya, tidak terbakar. Malang Sumirang terus menulis.

"Api itu terus menjilat, menyala-nyala, berkobar-kobar, membumbung tinggi ke atas. Namun sang terhukum masih saja tenteram di dalamnya, seakan tengah bernaung di kolam bening saja". Saat api mengecil dan akhirnya mati, tulisan pada bundel kertas itu selesai. Semua mata melihat Syekh Malang Sumirang dan dua ekor anjingnya tetap segar bugar.

Semua tercengang. Para wali, Sultan Demak, para mufti, para pandita agung, para ksatria dan adipati serta segenap punggawa menteri, saling pandang. Dengan senyum mengembang, Malang Sumirang berdiri meninggalkan tempat duduknya. Dihampirinya Sunan Drajat dan menyalaminya. Satu-persatu wali dijabat tangannya. Yang terakhir Syekh Malang Sumirang menyalami Sultan Trenggono.

Ia kemudian kembali kepada Sunan Drajat untuk menyerahkan bundel kertas bertuliskan suluk tulisan tangannya. "Ia beri nama suluk itu sebagai Suluk Malang Sumirang, sebagai pijakan menuju ilmu rasa yang meliputi rahsa," tulis Yudhi AW dalam Jalan Gila Menuju Tuhan, Kisah Moksanya Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging & Syekh Malang Sumirang dalam Babad Jaka Tingkir.

Suluk yang berbentuk tembang Dhandhanggula itu berisi ajaran ketuhanan. Sebuah penyingkapan tabir rahasia, berisi kata-kata yang menyurat sekaligus tersembunyi maknanya. Juga tentang pemakluman atas Kesejatian Sang Maha Mengawasi, penjelasan bagi kesempurnaan ilmu, menyeluruh hingga tuntas.

"Suluk Malang Sumirang karangan Pangeran Panggung (Syekh Malang Sumirang) adalah karya luar biasa. Karya tersebut tergolong dalam sekelompok teks keagamaan yang berkenaan dengan tasawuf gaya Jawa," kata peneliti asing George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa. Usai menyerahkan suluk Malang Sumirang, paman Sunan Kudus itu kemudian melanjutkan pengembaraanya ke wilayah pesisir pantai utara.

Sejumlah versi menyebut pengembaraan Syekh Malang Sumirang atau Sunan Panggung berhenti di wilayah Tegal, Jawa Tengah. Sebuah makam tua di sebelah utara alun-alun Kota Tegal, tepatnya di belakang masjid Panggung diyakini sebagai pesarean Syekh Malang Sumirang. Setiap Kamis Wage dan Jumat Kliwon, banyak peziarah berdoa di depan pusaranya.

Kitab suluk Malang Sumirang tersimpan di area makam. Namun kitab itu kemudian diyakini turut musnah, seiring terjadinya peristiwa kebakaran yang menghanguskan komplek pesarean Mbah Panggung atau Syekh Malang Sumirang.
 

Editor : Bian Sofoi

Sebelumnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network