3. Abah Guru Sekumpul Kalimantan (KH M Zaini Bin Abdul Ghani)
KH M Zaini Bin Abdul Ghani Al Banjari atau lebih dikenal Abah Guru Sekumpul adalah salah satu ulama kharismatik dari tanah Borneo. Abah Guru Sekumpul lahir pada 11 Februari 1942, dan wafat pada 10 Agustus 2005 di usia ke 63.
Guru sekumpul merupakan putra dari Abdul Ghani bin Abdul Manaf dengan wanita solehah Masliah binti Haji Mulia. Garis keturunan ayahnya bersambung hingga ke Syekh M Arsyad Al-Banjari, seorang tokoh sufi kenamaan dari tanah Banjar. Derajat kewalian Guru Sekumpul sudah diketahui Kiai Hamid sekitar 1965. Saat itu, Abah Guru Sekumpul muda dan pamannya, Syeikh Semman Mulia berlayar ke Jawa mencari guru pembimbing Rohani. Tempat pertama yang didatangi adalah Kota Bangil, Jawa Timur. Keduanya menemui dan meminta saran kepada Al Alim Al Alamah Syeikh Muhammad Syarwani Ardan atau yang dikenal dengan Guru Bangil yang masih sepupu dengan Guru Sekumpul.
Setelah bertemu dan menyampaikan maksud kedatangan tersebut guru Bangil kemudian memutuskan untuk mengajak sowan ke kediaman Kiai Hamid Pasuruan malam itu juga.
Usul ini disetujui Guru Sekumpul dan pamannnya. Menggunakan mobil lewat tengah malam baru sampai ke Pasuruan mobil langsung menuju rumah Kiai Hamid Meski waktu dinihari ternyata Kiai Hamid masih belum tidur dan sedang menerima tamu. Saat itu masih cukup banyak tamu sehingga guru Bangil dan rombongan duduk cukup jauh dari Kiai Hamid.
Rombongan disuguhi minuman. Usai minum Kiai Hamid berdoa. Kiai Hamid kemudian berdoa selesai berdoa Kiai Hamid lalu berdiri dan tiba-tiba mendekati Guru Sekumpul dan menepuk-nepuk bahu beliau sambil berucap Gubernur Kalimantan, Gubernur Kalimantan. ucapan tersebut mengisyaratkan kedudukan Guru Sekumpul sebagai seorang wali agung yang datang dari Kalimantan, suatu penghormatan luar biasa dari seorang wali kepada wali lainnya.
4. Kiai Muhsin Bululawang Malang
Kiai Muhsin adalah salah satu wali Allah yang menyembunyikan derajat kewaliannya. Kewalian beliau terbongkar berawal dari keinginan warga Bululawang Malang untuk mendirikan masjid. Sebelum dilaksanakan, mereka terlebih dahulu sowan ke Kiai Hamid Pasuruan. Namun Kiai Hamid menjawab Insya Allah, tapi di sana itu sudah ada wali besar Anda datang kepada beliau saja daripada jauh-jauh ke sini. Siapa wali Agung itu Kiai? Namanya Kiai Muhsin. Silakan dicari Nanti kalau sudah ketemu orangnya bilang saja Kiai Hamid yang menyuruhnya untuk berdoa sekalian tentukan arah kiblat. Begitu mendengar penjelasan Kiai Hamid ini, para tokoh warga kemudian meminta izin undur diri.
Dengan rasa penuh penasaran, para warga kemudian berbagi tugas untuk mencari Kiai Muhsin di daerah Bululawang. Warga berhari-hari mencari informasi tentang Kiai Muhsin hingga akhirnya ada salah satu warga yang menemukan keberadaannya. Anehnya yang ditemui adalah seorang penjual tempe yang bernama Muksim singkat cerita akhirnya tokoh warga itu mendatangi sosok Kiai Muhsin yang sedang berjualan tempe.
Ketika dipanggil dengan sebutan Kiai, penjual tempe tersebut merasa tidak berkenan. ”Jangan panggil saya Kiai. Saya ini penjual tempe,” jawabnya. Utusan warga tetap meminta doa Kiai Muhsin sekaligus menentukan arah kiblat atas masjid yang dibangun warga. ”Saya sudah menjelaskan bahwa saya ini bukan kiai. Saya hanya penjual tempe, kok malah diminta doa,” jawab Kiai Muhsin.
”Kiai Hamid Pasuruan yang minta panjenengan berdoa,” kata warga sambil menjelaskan sudah sowan ke Kiai Hamid Pasuruan. Kiai Muhsin penuh kaget mendengar itu, hingga akhirnya menuruti permintaan warga Bululawang tersebut
5. Kiai Haji Muhammadun Kajen Pati
Alkisah awal perkenalan Kiai Muhammadun Kajen dan Kiai Hamid Pasuruan tergolong unik dan cenderung mistis. Suatu ketika, Mbah Abdullah Zain Salam sowan ke Mbah Hamid Pasuruan. Setelah cukup lama dan dirasa sudah tercapai maksud dan hajat, Mbah Dullah kemudian minta pamit untuk pulang. Tiba-tiba Mbah Hamid titip salam kagem Kiai Sholeh Kajen. Ada sedikit kaget dan keheranan bagi Mbah Dullah lantaran di Kajen selama yang beliau tahu tidak ada orang yang bernama Kiai Sholeh.
Dengan memberanikan diri, Mbah Dullah kemudian bertanya biar tidak salah dan tidak ragu. Sepertinya di Kajen tidak ada kiai yang namanya Soleh. “Wonten Kiai,” jawab Kiai Hamid.
Mbah Dullah tetap mencari tahu walaupun sebatas minta ciri-ciri Kiai Sholeh.”Piantunnya (Orangnya) punya ciri-ciri seperti apa?,” tanya Mbah Dullah. Dengan haqqul yaqin, Kiai Hamid berkata bahwa Kiai Sholeh kalau setiap salat Jumat selalu di samping kanan mimbar. Mbah Dullah kemudian pulang dari Pasuruan membawa oleh-oleh tanda tanya besar siapa gerangan sosok yang dikatakan bahwa Kiai Hamid. Singkat cerita, setelah satu Jumat dua Jumat, Mbah Dullah mengamati dan memperhatikan dengan sesama di sisi kanan dari mimbar.
Sampai Jumat ketiga, ternyata yang istiqomah di tempat itu adalah Kiai Muhammadun yang juga masih familinya. Tanpa ragu Mbah Dullah sowan ke Kiai Muhammadun sebagai wujud amanat menyampaikan salam dari Mbah Hamid. Setelah saling ngobrol kesana-kemari barulah kemudian menyampaikan salam itu. Kiai Muhammadun dengan nada enteng dan menjawabnya bahwa beliau merasa tidak kenal dengan Kiai Hamid.
Akhirnya muncullah gagasan Mbah Dullah mengajak Kiai Muhammadun sowan ke Pasuruan. Sungguh aneh dan ajaib, sebelum Mbah Dullah dan Kiai Muhammaduun sampai di Pasuruan, Mbah Hamid sudah mempersiapkan penyambutan yang meriah dan istimewa dengan menggelar karpet merah dari teras rumah sampai gang masuk layaknya penyambutan tamu agung dan istimewa.
Santri-santri disuruh berkumpul dan membawa rebana sebagai prosesi penyambutan. Padahal saat itu belum ada teknologi handphone SMS atau telepon. Subhanallah. Siapa yang memberitahu Mbah Hamid. Ketika Kiai Muhammadun sudah memasuki Gang Kompleks Pesantren. Mbah Hamid sudah berdiri dengan muka ceria dan berseri-seri sambil tak henti-hentinya mendendangkan Thola'al Badru sampai menciumi Kiai Muhammadun saking gembira dan takzim.
Editor : Bian Sofoi
Artikel Terkait