Sayid dan Syekh serta Kisah Perpecahan Orang-Orang Arab di Nusantara

Solichan Arief
Komunitas Arab di Nusantara (repro).

Pada tahun 1930-an, tercatat ada sebanyak 700 anggota keluarga terkenal al-Attas di Batavia. Mereka yakni sayid dari kota Huraidah. Sedangkan golongan masakin merupakan migran Arab terbesar kedua. Mereka datang ke Hindia Belanda untuk melayani sayid atau syekh. Sementara meski tersebar merata di hampir setiap komunitas Arab penting di Jawa, kelompok migran syekh dan qabili berjumlah paling sedikit. Komunitas orang-orang Arab banyak tersebar di wilayah Batavia, Surabaya, Semarang, Cirebon, Gresik, Tegal, Pekalongan, Bangil, Bondowoso dan Sumenep.

“Di kalangan sayid, banyak yang menjadi pemuka agama dan pendakwah, yang di beberapa daerah memiliki banyak pengikut di kalangan penduduk setempat. Sebagai keturunan Nabi Muhammad, mereka dihormati,” kata Huub De Jonge dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).   Didorong orang-orang Arab yang memiliki pemikiran moderat, pada kisaran tahun 1912 dan 1934, golongan sayid dan syekh di Jawa terlibat polemik panas. Perseteruan mereka nyaris menenggelamkan isu Pan Islamisme dan Nasonalisme Arab di Hindia Belanda.

Perselisihan yang terjadi diawali dari berdirinya Jamiat Khair (Perhimpunan untuk Kebaikan) di Batavia pada tahun 1901. Pendirian Jamiat Khair bertujuan merawat budaya Arab dan bahasa Arab di Hindia Belanda. Untuk mencapai tujuan, organisasi membuka sekolah sendiri sekaligus mengirim pemuda ke negara-negara Islam guna melanjutkan pendidikannya.

Dalam perjalanannya, Ahmad Soerkati, seorang guru Jamiat Khair rekrutan dari Sudan, tiba-tiba menyerang prilaku para sayid di Jawa. Dia menuding sayid bertindak-tanduk aristokrat dan angkuh. Saat bertemu kepala komunitas Arab di Solo, Soerkati juga mempersoalkan masalah perkawinan dan cium tangan. Ia mengatakan perkawinan antara anak perempuan seorang sayid dengan laki-laki non sayid, diperbolehkan. Soerkati menggugat pemuliaan diri dan delusi kesucian kaum sayid. Ia menganjurkan tradisi mencium tangan para sayid, sebaiknya dihapuskan.

Editor : Bian Sofoi

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network