Namun yang terjadi di luar perhitungan kolonial Belanda. Pada akhir tahun 1934 atau tepatnya 4 Oktober 1934, sebanyak 39 orang sayid dan syekh progresif muda yang lahir di Hindia Belanda menyatakan tidak lagi memandang Hadhramaut sebagai tanah air mereka. Mereka memilih Indonesia sebagai tanah air, yakni nama yang sering dipakai kalangan nasionalis untuk menyebut Hindia Belanda. Para pemuda itu mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI) sekaligus berikrar sebagai putra Indonesia yang akan berjuang untuk wilayah dan masyarakat Indonesia.
Pendiri sekaligus pemimpin PAI adalah A.R Baswedan, seorang jurnalis keturunan Arab kelahiran Jawa tahun 1908 yang berjuang keras untuk emansipasi komunitas Arab dan integrasinya ke dalam masyarakat luas Indonesia. Mereka mengumandangkan lagu yang mengusung semangat nasionalisme. Indonesia semboyan persatuanku. Indonesia tanah tumpah darahku.
Persatuan Arab Indonesia makin lama makin bercahaya dan kita tetap bersetia, menjadi lirik syair lagu perhimpunan PAI. Lahirnya PAI yang sekaligus membebaskan hubungan sosial orang Arab Indonesia dengan Hadhrami secara berangsur-angsur meredam pertikaian antara kaum sayid dan syekh di Nusantara. ”Perserikatan ini secara eksplisit menentang perpecahan dalam komunitas Arab dan berupaya meningkatkan kerja sama dan solidaritas di kalangan Arab Indonesia,” tulis Huub De Jonge dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).iNewsPasuruan
Editor : Bian Sofoi