Para pengusaha mendapat sokongan bantuan dari kepala desa, di mana mereka (pengusaha) yang membayar pajak tanah. Sementara pemerintah kolonial Belanda hanya mengorganisir kuli, transport, pembelian alat, serta pemasaran.
Untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja kuli, pemerintah biasanya memakai sawah bertanaman tebu di dekat desa-desa yang padat penduduk. Sebagian besar sawah yang diincar berada di kawasan pantai utara. Sejak itu para petani di desa lebih banyak bersinggungan dengan ekonomi perkebunan, daripada tanaman padi. “Pasuruan dijadikan soko guru industri gula pemerintah”.
Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan tebu sebagai tanaman andalan. Demi kelangsungan bisnis gula, keberadaan perkebunan tebu diperluas ke wilayah karsidenan Probolinggo hingga pedalaman Malang dan Lumajang. Perluasan itu mencapai titik tinggi hingga tahun 1900. Selain warga desa yang berdekatan dengan kawasan perkebunan tebu, pemerintah kolonial Belanda sangat mengandalkan tenaga kerja yang berasal dari Madura.
Mereka didatangkan langsung dari pulau garam. Sejak era kolonial Belanda, khususnya berlakunya politik tanam paksa. Keberadaan orang-orang Madura yang hingga kini tersebar di mana-mana itu menjadi tulang punggung kelangsungan bisnis pabrik gula di Pasuruan dan Probolinggo.
https://jatim.inews.id/berita/kisah-pasuruan-rajanya-pabrik-gula-sejak-meletusnya-perang-jawa.
Editor : Bian Sofoi